Review Film Jodoh 3 Bujang

Review Film Jodoh 3 Bujang. Film “Jodoh 3 Bujang” lagi ramai dibahas di akhir 2025, setelah sukses besar di bioskop Juni lalu dan kini mendominasi daftar tontonan populer di layanan streaming. Dirilis pada 26 Juni 2025, komedi romantis berdurasi 107 menit ini diadaptasi dari kisah nyata tiga bersaudara asal Makassar yang terjebak tradisi pernikahan kembar. Disutradarai Arfan Sabran dalam debut fiksi panjangnya, cerita ini ikuti Fadly, Kifly, dan Ahmad yang dipaksa ayahnya menikah bareng demi hemat biaya mahar adat. Dibintangi Jourdy Pranata sebagai Fadly, Christoffer Nelwan sebagai Kifly, dan Rey Bong sebagai Ahmad, film ini campur aduk tawa, drama keluarga, dan kritik budaya Bugis-Makassar. Dengan lebih dari 525 ribu penonton awal dan rating rata-rata 7.2, ia dipuji atas keaslian lokal tapi dikritik karena komedi yang lambat nyantol di awal. Di tengah banjir romcom, film ini jadi pengingat hangat bahwa cinta sering datang saat kita paling enggak siap. INFO CASINO

Sinopsis yang Kocak Tapi Hangat: Review Film Jodoh 3 Bujang

Cerita dimulai di Makassar, di mana Mustafa, ayah tiga bersaudara, umumkan rencana gila: Fadly, Kifly, dan Ahmad harus nikah kembar untuk efisien biaya uang panai yang mahal. Fadly, si sulung karir-oriented, sudah punya calon tapi gadis itu tiba-tiba dijodohkan orang tuanya dengan pria lebih mapan. Kifly dan Ahmad, yang masih bujang abadi, ikut terseret: mereka buru-buru cari pasangan lewat app kencan, kenalan keluarga, hingga perjodohan ala kadarnya. Petualangan penuh kekacauan ini libatkan pesta adat, salah paham romantis, dan konfrontasi dengan tradisi yang kaku. Twist klimaks datang saat krisis undangan dan pertimbangan terakhir, di mana saudara-saudara ini belajar bahwa pernikahan bukan soal biaya, tapi ikatan hati dan keluarga. Sinopsis ini tak sekadar lucu; ia soroti dilema generasi muda yang terjepit antara adat dan realitas modern, dengan akhir yang setia pada kisah asli enam tahun lalu.

Performa Aktor yang Bikin Nyaman: Review Film Jodoh 3 Bujang

Jourdy Pranata sebagai Fadly tampil prima, bawa rasa frustrasi tapi optimis yang relatable—ekspresinya saat buru jodoh terasa seperti cerminan banyak anak muda. Christoffer Nelwan sebagai Kifly beri nuansa polos yang bikin tawa meledak, terutama di adegan kencan gagal, sementara Rey Bong sebagai Ahmad tambah kedalaman emosional dengan tatapan ragu yang menyentuh. Maizura, Aisha Nurra Datau, dan Barbie Arzetta sebagai calon istri mereka ciptakan chemistry manis, penuh momen romantis yang tak lebay. Pemeran pendukung seperti Elsa Japasal sebagai asisten rumah tangga curi perhatian dengan dialog sindiran tajam yang bikin ngakak, sementara Cut Mini dan Nugie sebagai orang tua beri bobot dramatis tanpa mencuri spotlight. Secara keseluruhan, para aktor ini sukses bikin cerita terasa seperti obrolan keluarga sungguhan, di mana tawa dan air mata bergantian datang natural.

Produksi dan Isu Budaya yang Relevan

Arfan Sabran, yang biasa garap dokumenter, unggul di visual: sinematografi tangkap eloknya Makassar dari pantai berpasir putih hingga rumah adat Bugis, dengan transisi rapi yang bikin narasi mengalir mulus. Musik latar campur lagu daerah dan pop ringan dukung ritme komedi, meski hening di momen haru justru lebih kuat. Editing efisien, walau paruh pertama agak lambat untuk setup konflik, dan komedi baru ngena di babak dua. Film ini angkat isu mahar adat yang sering jadi beban pria muda, kritik halus pada baby boomer yang atur hidup anak, serta benturan tradisi vs. modernitas—seperti app kencan vs. jodoh keluarga. Elemen budaya kuat, dari dialog Makassar samar hingga ritual siri’, bikin film terasa otentik tanpa menggurui. Minusnya, beberapa subplot romansa terasa kurang digali, tapi justru itu bikin fokus tetap di saudara-saudara utama.

Kesimpulan

“Jodoh 3 Bujang” adalah komedi romantis yang pas untuk akhir pekan keluarga, dengan campuran tawa hangat dan renungan soal cinta yang tak selalu rapi. Kekuatannya ada di keaslian kisah nyata dan performa solid, meski pacing awal sempat uji kesabaran. Enam bulan setelah rilis, film ini masih jadi favorit, terutama bagi yang merasakan tekanan adat atau cari pasangan. Ia ingatkan bahwa jodoh bisa datang dari mana saja—asalkan hati siap dan keluarga dukung. Cocok ditonton bareng saudara, karena di balik kekocakannya, ada pesan sederhana: pernikahan hebat dimulai dari ikatan yang tulus, bukan paksaan biaya.

BACA SELENGKAPNYA DI…