Review Film Terbaru Berjudul Frankenstein
Review Film Terbaru Berjudul Frankenstein. Di tengah hiruk-pikuk dunia perfilman yang tak pernah tidur, sebuah adaptasi baru dari kisah klasik Mary Shelley baru saja menyapa penonton. Film berjudul Frankenstein ini, yang dirilis pada akhir Oktober 2025, langsung menjadi sorotan karena ambisinya yang besar. Disutradarai oleh seorang visioner yang sudah lama terobsesi dengan cerita ini, film berdurasi dua setengah jam ini mengisahkan Dr. Victor Frankenstein, seorang ilmuwan brilian tapi egois, yang nekat menghidupkan kembali kehidupan melalui eksperimen kontroversial. Hasilnya? Sebuah makhluk yang tragis, lahir dari ambisi manusia yang tak terkendali.
Cerita ini bukan barang baru—sudah diadaptasi berkali-kali sejak abad ke-19—tapi versi kali ini menjanjikan pendekatan segar. Berlatar di era Victoria tahun 1857, film ini mengeksplorasi tema penciptaan, penolakan, dan penebusan dengan nuansa gotik yang kaya. Penonton awal di Festival Film Venesia pada Agustus 2025 sudah ramai membahasnya, dan sejak tayang luas, ulasan positif membanjiri. Apakah ini sekadar monster movie biasa, atau ada kedalaman emosional yang bikin nagih? Mari kita kupas lebih dalam.
Narasi Film Frankenstein yang Menyentuh Hati
Alur cerita film ini mengikuti kerangka novel asli Shelley, tapi dengan sentuhan pribadi sang sutradara yang membuatnya terasa intim sekaligus epik. Kisah dibuka dengan kapten kapal yang terdampar di utara, mendengarkan pengakuan Victor dan makhluknya—struktur naratif yang cerdas untuk membangun ketegangan. Victor, yang kehilangan ibunya saat melahirkan adiknya, terobsesi mengalahkan kematian. Eksperimennya melibatkan listrik dan jaringan manusia, menciptakan makhluk yang bukan sekadar monster, tapi simbol kesepian abadi.
Yang membuat narasi ini istimewa adalah bagaimana ia menyelami hubungan ayah-anak antar Victor dan ciptaannya. Bukan hanya konflik fisik, tapi emosional: makhluk yang haus akan kasih sayang, tapi ditolak mentah-mentah oleh dunia. Adegan di hutan, di mana makhluk belajar tentang kebaikan manusia sebelum dihujat, terasa menyayat. Durasi panjangnya memang menuntut kesabaran, tapi justru memberi ruang untuk momen-momen tenang yang membangun empati. Alur ini tak bertele-tele; setiap twist terasa organik, mengalir seperti simfoni gelap yang membawa penonton dari euforia penciptaan ke kehancuran mutlak.
Penampilan Aktor Frankenstein yang Mengguncang
Para pemeran utama layak dapat tepuk tangan meriah atas dedikasi mereka. Pemeran Victor Frankenstein menghidupkan karakter itu dengan karisma yang meledak-ledak: awalnya penuh ambisi sombong, lalu runtuh menjadi sosok rapuh yang dihantui rasa bersalah. Ekspresinya saat melihat ciptaannya pertama kali—campuran kagum dan horor—bikin bulu kuduk merinding. Sementara itu, aktor yang memerankan makhluknya melakukan transformasi total, dari balik lapisan prostetik tebal, menjadi sosok yang lembut sekaligus ganas.
Penampilannya tak hanya soal fisik; ia menangkap esensi makhluk sebagai korban tak berdosa, dengan gerakan kikuk yang perlahan berubah percaya diri. Suaranya yang serak, penuh kerinduan saat berbicara tentang “keluarga” yang tak pernah ia miliki, langsung bikin air mata netes. Pemeran pendukung, seperti tunangan Victor yang penuh rahasia dan teman setianya, menambah lapisan nuansa romantis dan gelap. Secara keseluruhan, chemistry antar karakter terasa autentik, membuat penonton tak bisa lepas mata. Ini bukan sekadar akting; ini adalah perpaduan jiwa yang bikin film terasa hidup.
Visual dan Suara yang Memukau
Secara teknis, film ini adalah pesta bagi indera. Desain produksinya epik: laboratorium Victor seperti istana sci-fi bergaya seni, penuh kabel listrik yang berderak dan botol-botol misterius yang berkilauan. Warna-warna cerah—merah darah, hijau lumut, biru es—kontras tajam dengan elemen gotik gelap, membuat setiap frame seperti lukisan bergerak. Efek khusus untuk makhluknya mulus, tak terasa CGI murahan; jahitan kulitnya terlihat nyata, gerakannya anggun tapi mengerikan.
Sementara itu, suara dan musiknya seperti napas kedua film ini. Skor orkestra yang membengkak di momen klimaks, dicampur suara angin menderu dan raungan petir, ciptakan atmosfer tegang yang menyelimuti. Dialognya puitis, penuh kutipan dari Paradise Lost yang menambah kedalaman filosofis. Pendekatan sinematik ini tak hanya indah, tapi juga fungsional—membantu cerita mengalir tanpa terasa berat. Beberapa ulasan bilang durasi panjangnya kadang bikin lelah, tapi visual yang memanjakan mata ini cukup jadi obatnya.
Kesimpulan
Frankenstein 2025 bukan sekadar adaptasi; ia adalah pernyataan cinta terhadap kisah abadi tentang ambisi manusia dan harga penciptaan. Dengan narasi emosional, akting brilian, dan produksi kelas dunia, film ini berhasil menyegarkan monster klasik menjadi sesuatu yang segar dan menyentuh. Meski tak luput dari kritik soal ritme lambat, kekuatannya ada di hati: pengingat bahwa monster sebenarnya seringkali lahir dari ketakutan kita sendiri.
Bagi penggemar horor gotik atau drama mendalam, ini wajib tonton. Ia membuktikan bahwa cerita lama bisa diracik ulang menjadi mahakarya baru, meninggalkan penonton dengan pertanyaan: apa yang kita ciptakan, dan siapa yang benar-benar menderita karenanya? Di akhir kredit, yang tersisa hanyalah kekaguman atas keberanian film ini menyuarakan tema kekinian melalui lensa masa lalu.
